Outlined Text Generator at TextSpace.net
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Selasa, 19 Juli 2011

HUKUMAN PIDANA DAN MACAMNYA



HUKUMAN PIDANA DAN MACAMNYA

A. Pengertian Hukuman
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hukuman, ada baiknya kita mengetahui definisi hukuman itu sendiri terlebih dahulu. Menurut Kartanegara, hukuman adalah ancaman bersifat penderitaan dan siksaan. Sanksi atau hukuman bersifat penderitaan karena hukuman itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yarg dilindungi hukum pidana.[2]
Menurut van Hammel arti dari pidana atau straf menurut hukumpositif dewasa ini adalah :
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggaran, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara”[3]
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah: “suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.[4]
Selanjutnya Algra–Janssen merumuskan pidana atau straf sebagai berikut[5]:
“Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk mem­peringatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharus­nya dinikmati oleh terpidana atasnyawa, kebebasan dan harta ­kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana”.
Dari pengertian pidana tersebut dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkindapat mempunyai tujuan.
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan sinonim dengan perkataan penghukuman, tentang hal tersebut menurut beliau antara lain bahwa:
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pem­berian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroor­deling”.

B. Teori Pemidanaan
Sehubungan dengan terdapatnya persoalan mengenai dasar hu­kuman menurut Kartanegara timbul “Strafrechtstheorie”. Dalam hal tersebut terdapat 3 macam aliran yaitu[6]:
1. Absolute atau vergeldingstheorie (vergelden = imbalan).
Dasar hukuman menurut teori absolute atau vergeldingstheorie, adalah kejahatan. Aliran ini timbulnya kira-kira pada akhir abad ke­-18 dan mengajarkan, dasar dari hukuman harus di­cari pada kejahatannya sendiri. Alasan aliran ini untuk menunjuk kejahatan sebagai dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat, bahwa hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan atau imbalan” (vergelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Berhubung kejahatan menimbul­kan penderitaan pada korban aliran ini berpendapat bahwa haruslah diberikan penderitaan pada orang yang melakukan perbuatan dan menyebabkan penderitaan tadi (leet met vergelden – penderitaan dibalas dengan penderitaan).
Mungkin di sini lebih tepat, jika istilah “vergelden” itu dirumuskan dengan “menebus dosa” (kwaad neet kwaad vergelden wonden“).[7] Pendapat tersebut antara lain dari Imanuel Kant yang mengemukakan bahwa rechtgrond-nya (dasar hukumnya) haruslah dicari pada kejahatan sen­diri, sebab kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Jika ajaran ini dipandang dari sudut “vergelding”, maka hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang eth ethis (een ethische vergelding).
2. Relative atau doeltheorien (doel = maksud, tujuan).
Dasar hukuman menurut teori tujuan adalah “tujuan hukuman”, yang menyandarkan hukuman pada maksud atau tujuan hukuman. Dalam teori tujuan terdapat beberapa paham yaitu antara lain adalah sebagai berikut:[8]
a. Hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan.
b. Mencegah kejahatan
c. Melenyapkan penjahat
Hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat yang disebabkan akibat terjadinya kejahatan. Selain hal tersebut terdapat ajaran yang mengemukakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dalam hal ini terdapat perbedaan paham mengenai maksud dari usaha mencegah kejahatan yaitu:
a. Ada yang menghendaki supaya ditujukan terhadap umum, yang disebut prevensi umum (algemene preventie).
b. Ada yang menghendaki supaya ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan yaitu yang disebut prevensi khusus (speciale preventie).
Di samping perbedaan faham mengenai maksud usaha pencegahan kejahatan terdapat juga perbedaan paham mengenai “cara” guna tercapainya tujuan tercegahnya kejahatan yaitu:
a. Mencegah kejahatan dengan jalan menakuti-nakuti yang ditujukan kepada umum.
b. Mencegah kejahatan dengan jalan memperbaiki penjahatnya agar tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Mengenai “cara” guna mencapai tujuan tercegahnya kejahatan terdapat paham lain sebagai berikut :
a. Mencari tujuan hukuman dalam ancaman hukuman. Aliran ini berpendapat bahwa dengan memberi ancaman hukuman, hendak menghindarkan umum dari perbuatan jahat. Diantaranya adalah Anselm von Feuerbach yang ajarannya dikenal sebagai ajaran “tekanan psychologis” (de psychologischedwang).Namun diakui pula oleh Feuerbach, bahwa ancaman saja tidak cukup, sehingga di samping itu perlu menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman.
b. Mencari tujuan hukuman tidak saja dalam ancaman hukuman tetapi juga menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman. Dalam hal ini, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman menghendaki agar hukuman dilakukan di tempat umum, ini dimaksudkan agar dengan jalan itu orang lain dapat dicegah dari perbuatan jahat.
Tujuan hukuman adalah untuk melenyapkan orang yang melakukan kejahatan (penjahat) dari pergaulan masyarakat. Menurut paham ini, cara demikian itu perlu karena mungkin orang lain tidak menghiraukan ancaman hukuman sehingga usaha pendidikan atau apapun tidak akan cukup untuk memperbaiki dirinya, karena orang demikian telah mempunyai sifat jahat, sehingga dipandang perlu untuk melenyapkan dari pergaulan masyarakat. Adapun cara melenyapkannya adalah dengan cara memberikan hukuman yang lama misalnya seumur hidup, dan dengan jalan menyingkirkannya dari masyarakat. Dalam hal ini cara mutlak adalah dengan hukuman mati.
3. Verenigingstheorien (teori gabungan)
Teori gabungan, aliran teori ini mencakup dasar hubungan dari absolute teori dan relativer teori. Hal ini berarti bahwa menurut ajaran ini dasar hukuman terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan dan di samping itu juga dasarnya adalah tujuan dari hukuman (pidana).[9]
Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemikiran itu ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para pemikir atau diantara para penulis.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan yaitu:
1. Untuk memperbaiki pribadi dan penjahatnya sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan­ yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Para penulis Bangsa Romawi pada umumnya berpendapat bahwa suatu pemidanaan itu harus ditujukan kepada 3 (tiga) tujuan seperti yang telah disebutkan secara bersama-sama, yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu, untuk membuat orang menjadi jera, untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan­-kejahatan yang lain.
Simons berpendapat, bahwa para penulis lama pada umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan disamping melihat hakekat dari suatu pemidanaan itu sebagai pembalasan. Simons juga merasa yakin bahwa hingga akhir abad kedelapan belas, praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh daripaham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atauafschrikkingsidee.
Van Hamel berpendapat, bahwa hingga akhir abad kesembilan belas praktek-praktek pemidanaan itu masih dipengaruhi oleh 2 (dua) pemikiran pokok seperti yang dimaksudkan di atas yaitu vergeldingsideedan afschrikkingside.

B. Landasan Yuridis Hukuman
Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya telah dijelaskan dalam buku I KUHP bab ke-2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan yaitu:[10]
1. reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77;
2. ordonasi pelepasan bersyarat (Stb 1917 No. 749);
3. reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 741);
4. UU No. 20 tahun 1946 tentang pidana tutupan.

C. Bentuk-bentuk Hukuman
Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya telah diatur dalam buku 1 KUHP bab ke-2 dimulai dari pasal 10 sampai dengan pasal 43.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku diIndonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang.[11] Dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):[12]
  1. Pidana mati
  2. Pidana penjara
  3. Pidanan kurungan
  4. Pidana denda
  5. Hukuman tutupan. Hukuman ini ditambahkan ke dalam KUHP dengan undang-undang (Republik Yogya) tahun 1946 no. 20.[13]
Adapun pidana tambahan terdiri dari (Bijkomende Straffen):[14]
  1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
  3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua yaitu:
  • Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.[15]
Panjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan penjatuhan tindak pidana tambahan bersifat fakultatif maksudnya adalah hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman tambahan bersifat fakultatif, artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman tambahan (hakim boleh memilih).
  • Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.

E. Karakter Hukuman dalam KUHP dan Hukum Pidana Indonesia serta Tata Cara Penjatuhan Hukuman

1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam.[16]
Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam KUHP sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah.
Isyarat yang diberikan oleh KUHP agar pidana mati tidak terlalu mudah dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya,[17]yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam KUHP pasal 365 ayat (4), pasal 340 dan lain-lain.
Penulis Jonkers mengatakan bahwa menurut surat penjelasan atas rancangan KUHP Indonesia, ada empat golongan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:[18]
o Kejahatan-kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara (104, 111 (2), 102 (3) jo 129);
o Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat (140 (3), 340);
o Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat memberatkan (365 (4), 368 (2));
o Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (444)
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”.[19]untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.[20]
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah sebagai berikut:[21]
· Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
· Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
· Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
· Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
· Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
· Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
· Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
· Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
· Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (pasal 12 ayat (2)), dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP pasal 12 (3).
Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam pasal 29 KUHP.
Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam pasal 25 KUHP.
Menurut pasal 13 KUHP nara pidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:[22]
1) Kelas I yaitu: bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain;
2) Kelas II yaitu:
o Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tesebut di atas;
o Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 jika kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia dapat dinaikkan ke kelas 2;
o Bagi narapidana yang dipidana sementara yang karena alasan-alasan pelanggaran tertentu, ia dapat diturunkan menjadi kelas II dari kelas III;
3) Narapidana kelas III, yaitu: bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari kelas I karena telah terbukti berkelakuan baik. Menurut pasal 55 peraturan penjara, bagi narapidana yang demikian dapat diberikan pelepasan bersyarat (pasal 15), apabila ia telah menjalani 1/3 atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
4) Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tinggi lima bulan.
Dalam hukum pidana dikenal 3 sistem hukum penjara, yaitu:
o Sistem Pennsylvania (suatu negara bagian dari Amerika Serikat) yaitu sistem yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar;
o Sistem Auburne (suatu kota dalam negara bagian New York di Amerika Serikat), yaitu yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama untuk bekerja, tetapi tidak boleh berbicara;
o Sistem Irlandia, yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup secara terus menerus, kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat.[23]
Sedangkan untuk sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia adalah dengan cara menggabungkan ketiganya, yaitu biasanya beberapa orang hukuman dikumpulkan dalam satu ruangan, tetapi ada juga seorang tahanan yang nakal dipisahkan sendiri dalam satu kamar.

3. Pidana Kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun.[24]
Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu:
Persamaan:
o Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak.
o Mangenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus.
o Sama-sama diwajibkan untuk bekerja
o Sama-sama bertempat di penjara
Perbedaan:
o Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (pasal 69 KUHP)
o Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun
o Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya bisa dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan sebagai berikut:[25]
Hukuman penjara Hukuman kurungan
1. Orang yang dikenakan huku- 1. Tidak dapat dikirimkan, bertentang-
man dapat dikirimkan kemana-mana an dengan kehendaknya keluar daerah tem-
untuk menjalani hukumannya. dijatuhi hukuman.
2. Dipekerjakan berat. 2. Menurut pasal 19 ayat (2) KUHP ti-
dak seberat hukuman penjara.
3. Tidak diperkenankan atas bia- 3. Diperkenankan
ya sendiri mengadakan persediaan-
persediaan yang meringankan nasib-
nya

4. Pidana Denda
Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam KUHP pasal 10 adalah pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada banyak jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan.
Dalam prakteknya pidana denda jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana itu hanya dijadikan sebagai alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan.
Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut pasal 30 ayat (1) adalah tiga puluh juta rupiah tujuh puluh lima sen.
Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, pasal 30 ayat (2)) sebagai pengganti dari pidana denda.
Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi hukum ia harudilepaskan dari kurungan penggantinya.
Sedangkan untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam KUHP pasal 27 ayat (1). Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat jangka waktu sebagai mana tersebut di atas dapat diperpanjang paling lama 1 bulan. Dan perlu diketahui dalam hal uang denda yang dibayar oleh terpidana menjadi hak milik Negara (pasal 24).

5. Hukuman tutupan.
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.[26]
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
Sedangkan untuk pidana tambahan penjelasannya sebagai berikut:

1. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperbolehkan (pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana menurut pasal 35 ayat 1 KUHP hanya diperbolehkan pada hal-hal sebagai berikut:[27]
· Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
· Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
· Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
· Hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
· Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
· Hak menjalankan mata pencaharian.
Pada perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk melakukan pemecatan tersebut.[28]
Dan perlu diketahui bahwa sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Ketentuan mengenai batas waktu pencabutan hak-hak tertentu terpidana lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 38.
Perlu diketahui juga bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.

2. Pidana Perampasan Barang Tertentu
Hukuman tambahan kedua, menurut pasal 39 berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk merampas semua barang milik terhukum.
Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a) barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam KUHP pasal 39.
Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada pasal 250 bis, 362, 275.
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara[29], dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas negara (42).
Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu diantara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2).

3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim
Pidana putusan hakim hanya bisa dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang,[30] misalnya: pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Seperti yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut.
Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut adalah sebagai usaha preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut.



[2] Satochid Kartanegara, Hukum PidanaYogyakarta, TT, Hal. 49
[3] Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier IndonesiaJakarta, Armico, 1988.
[4] Lamintang, P.A.F. ibid
[5] Lamintang, P.A.F. ibid
[6] Satochid Kartanegara, Hukum PidanaYogyakarta, TT, Hal. 52-56.
[7] ibid, hal. 52
[8] Ibid, hal. 53-55
[9] Ibid, hal. 56
[10] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 25
[11] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hal. 175
[12] Moeljatno, Kitab Undang-undang Pidana, (Jakarta;Bumiaksara, 2008), hal. 5
[13] R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, hal. 124
[14] Ibid, hal. 6
[15] Adami Chazawi, Op. Cit. hal.26
[16] C.S.T. Kansil, S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007), hal. 226
[17] Ibid, hal. 31
[18] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung; PT Eresso, 1989), hal. 165
[19] Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007), hal.188
[20] BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

Pasal 2

(1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
(2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

Pasal 3

(1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar
nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah
lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi
Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan
ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang
diperlukan untuk itu.

Pasal 4

Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya
menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus
ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

Pasal 6
(1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
(2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima
oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

Pasal 7
Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari
nsetelah anaknya dilahirkan.

Pasal 8

Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri
pelaksanaan pidana mati.

Pasal 9

Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali
ditetapkan lain oleh Presiden.

Pasal 10

(1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari
seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya.
(3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4
sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

Pasal 11

(1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

Pasal 12
(1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya
terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Pasal 13
(1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat
yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10
meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

Pasal 14
(1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah
supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya
untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara
cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati,maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskantembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

Pasal 15
(1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan
kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.

Pasal 16
(1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan
pidana mati.
(2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat
kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang
ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat
Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.
[21] Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta; Alumni Ahaem, 1986), hal. 465
[22] Adami chazawi, op. cit. hal.37
[23] C.S.T. Kansil, S.T. Kansil, Op. Cit. hal. 235
[24] Untuk lebih jelasnya lihat KUHP pasal 18.
[25] Tresna, R. 1994. Azas-azas Hukum PidanaYogyakarta: Unpad. hal. 129
[26] Ibid, hal. 191
[27] Adami Chazawi, Op. Cit. hal. 44
[28] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta; Rineka Cipta, 2008), hal. 204
[29] Sianturi, Op. Cit. hal. 483
[30] C.S.T. Kansil, S.T. Kansil, Op. Cit. hal. 258

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar