Outlined Text Generator at TextSpace.net
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Selasa, 14 Juni 2011

Bedah Kasus Kewarisan (Hukum Perdata Islam)

Bedah Kasus Kewarisan
Hukum Perdata Islam

Seorang lelaki bernama "Ab" yang berasal dari Indonesia menikah di Jepang dengan seorang mualaf dan berstatus janda beranak satu, bernama "Xo". Mereka menikah di salah satu masjid sekat daerah mereka tinggal. Setelah menikah kemudian "Ab" mengangkat anak "Xo" yang merupakan anak suami dari pertamanya menjadi anak angkat. Anak tersebut bernama "Mo".

Singkat cerita kemudian "Ab" bersama keluarga pergi ke Indonesia dan melegalkan pernikahanya dengan "Xo". Setelah beberapa lama menetap di Indonesia dan menjalin hidup dengan "Xo", ironisnya secara diam-diam "Ab" menikah lagi dengan seorang wanita muslim yang cantik bernama "Yi". Kemudian dari hasil menikah diam-diam tersebut "Ab" mempunyai seorang anak perempuan bernama "Ni". "Ni" juga beragama Islam.

Kemudian "Ab" meninggal dunia. Bagaimanakah pembagian warisanya?

Jika dilihat memang sangat kompleks permasalahan ini, namun secara mendasar setiap istrinya berhak mendapat warisan, namun bila di usut maka pernikahan dengan "Yi" termasuk ilegal meskipun sah secara agama. Kemudian anak dari pernikahan dengan "Yi" juga berhak mendapat warisan karena hubungan nasab. Sedangkan anak angkatnya hanya berhak mendapat wasiat wajibah secara umumnya. Namun permasalahan ini bisa melebar. Dalam Pasal 174 ayat [1] KHI) dijelaskan pembagian warisan:
1. Menurut hubungan darah:
    a) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
    b) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan tediri dari duda atau janda.

Dari penjelasan di atas maka "Xo" berhak mendapatkan warisan, atau bisa dikatakan menjadi ahli waris, namun "Yi" yang mengaku juga sebagai istrinya dapat mengajukan banding dengan bukti pernikahan. Ketika kasus diungkap dan pernikahan dengan "Yi" dianggap batal dihadapan hukum, maka pembelaan saya jelas kepada "Xo" yang merupakan istri pertama dan jelas sah.

Bagaimana dengan nasib "Ni"(anak dari "Ab" dan "Yi")?

Secara agama bila dilihat secara kacamata sah atau tidak pernikahannya dalam Islam, maka "Yi" seharusnya berhak mendapat warisan, atau bisa dikatakan menjadi ahli waris juga secara hubungan pernikahan dan nasab. Namun kenyataanya dalam kacamata hukum, istri pertama yaitu "Xo" bisa mengajukan banding ke pengadilan karena permasalahan pernikahan diam-diam tanpa izin "Xo". Hal inilah yang menjadi rumit, khususnya bagi "Ni" yang merupakan anak kandung "Ab" dan "Yi".

     Nasib "N" menjadi runyam ketika pernikahan "A" dengan "Y" dianggap batal menurut hukum. Maka hak waris secara hukum akan hilang. Namun apabila terjadi sebuah kesepakatan damai dari pihak "Xo" dan "Yi" yang akhirnya setuju untuk membagi secara Islam, maka bisa dibagi dengan hitungan istri dua, anak perempuan satu, dan anak angkat satu (mendapat wasiat wajibah). Maka selesai permasalahan ini bila adanya perdamaian.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar