Outlined Text Generator at TextSpace.net
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 20 April 2011

IJMA', QIYAS & URF


A. Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر   berarti berupaya di atasnya.[1] Sebagaimana firman Allah SWT:
 “Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.Yunus:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti  yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.[2] Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas hukum syara.[3]
Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1). Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umum mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3) Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’, karena hal itu dapat menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhamad SAW.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad SAWmasih hidup, karena Nabi Muhammad SAW senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariah.
5) Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[4]
Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.      Ijma’ Sharih;
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.      Ijma’ Sukuti;
Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.[5]
Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dhanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
Kehujjaan Ijma’ Menurut Pandangan Ulama’
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.[6]
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.[7]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1.      Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka itu menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihad lagi. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Annisa’ ayat 115.
Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2.      Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau dzanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[8]
Syarat Mujtahid
            Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
1.      Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2.      Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3.      Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[9]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.[10]   

B. Qiyas
          Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[11]
(‘Illat = ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.)
            Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.Al-Maidah:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[12] 
            Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shabat maupun ijma’ ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[13]
Kehujjahan Qiyas
            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[14] 
            Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: 
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.Al-Hasyr:2)
            Dari ayat di atas bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi “i’tibar dan qiya”’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[15]
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.An-Nisaa’:59)
            Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[16]
Sementara diantara dalil sunnah  mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah SAW, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[17]
            Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi SAW sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
            Umpamanya, bahwa Abu Bakar RA suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[18]
            Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah SWT mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[19] 
Pembagian Qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.
A.     Qiyas 'illat
            Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2. Qiyas khafi
            Ialah qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.

B.     Qiyas dalalah
      Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
C.     Qiyas syibih
      Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a.       Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b.      Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c.       Hukum al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d.      Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[20]

C. Urf
A. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi. Dengan kata lain 'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).
Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibandingkan dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
B. Pembagian Urf
1. Ditinjau dari bentuknya (sifatnya) ada dua macam:
a)      Al Urf al Qauliyah ('Urf qauli), ialah 'urf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja, tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
b)      Al Urf al Fi’ly (‘Urf amali), ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara' membolehkannya.
2. Ditinjau dari segi nilainya (diterima atau tidaknya), ada dua macam:
a)      Al Urf as Shahih (‘Urf shahih), ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'. (‘urf yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash dan hukum syara’).
b)      Al Urf al Fasid (‘Urf fasid), ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam. (‘urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara’).
3. Ditinjau dari luas berlakunya, ada dua macam:
a)      Al Urf Am (‘Urf 'âm), ialah Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya. (‘urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejak dahulu hingga sekarang).
b)      Al Urf al Khas (‘Urf khash), Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. (‘urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu).
C. Syarat-syarat Urf dapat diterima oleh hukum Islam
1.      Tidak ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2.      Pemakaian tidak mengakibatkan dikesampingkanya nash syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3.      Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
D. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'Urf
Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:
a.                                                                  
Artinya: "Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
b.                         
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
c.                      
Artinya: "Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
E. Kehujjahan Urf
            Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Berarti, beliau menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
            Imam Safi’i terkenal dengan Qoul qadim dan Qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karena bertentangan dengan syara’ nash maupun ketentuan umum nash.


[1]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468 (http://orgawam.wordpress.com).
[2]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 468 (http://orgawam.wordpress.com).
[3]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 469 (http://orgawam.wordpress.com).
[4]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007, hal 70-71 (http://hadirukiyah.blogspot.com).
[5]Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62 (http://hadirukiyah.blogspot.com).
[6]Prof. Muhammad Abu Zahrah, “Usul Fiqih” Jakarta 2005. Hal. 314 (http://hadirukiyah.blogspot.com).
[7]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73 (http://hadirukiyah.blogspot.com).
[8]Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 80 (http://hadirukiyah.blogspot.com).
[9]Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 474-476 (http://orgawam.wordpress.com).
[10]Kajian mengenai maqashid al-syariah dikemukakan secara komprehensif oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya: al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz 2, hal 5-12 (http://orgawam.wordpress.com).
[11]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173 (http://orgawam.wordpress.com).

[12]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53 (http://orgawam.wordpress.com).
[13]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175 (http://orgawam.wordpress.com).
[14]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53 (http://orgawam.wordpress.com).

[15]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592 (http://orgawam.wordpress.com).
[16]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175 (http://orgawam.wordpress.com).
[17]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56 (http://orgawam.wordpress.com).
[18]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 597 (http://orgawam.wordpress.com).
[19]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 58 (http://orgawam.wordpress.com).
[20]Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 60. Lebih lanjut lihat hal 60-78 (http://orgawam.wordpress.com).

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar